Ada masanya, ketika menerima umpan balik positif atau pujian, saya merasa bangga, over pe-de, dan besar kepala. Sedangkan ketika menerima umpan balik negatif alias kritik, saya kecewa pada diri sendiri, malu, merasa gagal, tidak suka pada si pemberi kritik, dan beragam rasa tak menyenangkan lainnya. Ditambah lagi, saya tidak tahu bagaimana caranya menjawab umpan balik itu. Baik yang positif, apalagi yang negatif.
Di satu sisi, saya merasa belum siap untuk mendengarkan hal-hal negatif tentang diri maupun hasil kerja saya. Harga diri seperti teriris ketika mendapatkan kritik dan saya jadi emosional.
Salah satu umpan balik yang paling berkesan yang saya terima adalah dari klien kami. Hasil kerja tim kami dikritik habis-habisan. Pulangnya, saya curhat habis ke atasan yang juga jadi mentor saya. Apa kata beliau? “Kita sebagai konsultan ini sering kali terlalu sayang sama hasil kerja kita. Kita pikir, apa yang kita buat sudah yang paling baik untuk klien. Maka Ketika klien menyatakan lain, kita jadi resisten”.
JLEB. Dan keywordnya buat saya adalah “terlalu sayang”.
Benar kata beliau. Sebelumnya, saya memaknai pekerjaan itu sebagai masterpiece kami. Tim sudah bersusah payah meninterview, menganalisa, menyusun kebijakan dan prosedur, membuat dan memoles dokumen-dokumen dengan baik. Dokumen sudah dicetak rapi, dijilid, dan mulus. Masterpiece yang “sempurna”.
Tetapi, ternyata tidak bisa begitu. Balik lagi ke mantra awal “It’s not about us, it’s about them”. Kami bukan sedang membuat masterpiece. Kami bukan membuat sesuatu untuk dibanggakan. Alih-alih demikian, kami sedang membantu klien, memenuhi harapan klien, dan memberikan solusi sesuai kebutuhan mereka. It’s about them. Saya tidak boleh jatuh cinta pada hasil kerja sendiri. Tidak boleh terlalu sayang, begitu sayangnya hingga tak bisa dikritik.
Sejak saat itu, pola pikir saya dalam memandang apa pun yang saya kerjakan, berubah. Saya tidak lagi mengejar “kesempurnaan” versi saya, tapi lebih kepada mencari tahu apakah yang kami kerjakan bermanfaat dan memberikan dampak bagi orang lain. Dengan begitu, saya lebih terbuka terhadap umpan balik. Bahkan, selalu mencari-cari umpan balik yang bisa membuat hasil kerja kami semakin cocok dengan apa yang dibutuhkan orang.
Demikian juga, dalam menerima feedback positif atau pujian, jadi terasa biasa-biasa saja. Saya menganggap bahwa pujian itu adalah pernyataan bahwa dari satu sisi, orang bisa merasakan manfaat dari apa yang saya kerjakan. Hanya dari satu sisi. Di sisi lain, akan selalu ada ruang untuk perbaikan yang mungkin tidak saya lihat. Dan untuk itu, kita butuh umpan balik dari orang lain.
Maka, feedback positif tak perlu dibesar-besarkan, dan feedback negatif tak perlu dipikirkan berlebihan. Seperti kata mentor saya, tak ada yang namanya kegagalan. Yang ada hanya umpan balik. Yang perlu dipikirkan adalah, bagaimana caranya agar umpan balik itu bisa membuat diri kita dan apa yang kita kerjakan jadi lebih baik.