Beruntunglah kita, perempuan yang lahir di era setelah tahun 1970-an.
Ketika usia kita sampai di periode masuk ke dunia karier atau berbisnis, kita menghadapi dunia yang sudah tak lagi sama. Perempuan telah memiliki kesempatan untuk mencurahkan potensinya dengan mendapatkan Pendidikan, pekerjaan dan jabatan yang sebelumnya lebih banyak di dominasi laki-laki.
Ada masa di era sampai dengan tahun 1960-an perempuan menghadapi “tembok tinggi” (concrete wall phenomenon) ketika berbicara tentang kesetaraan dan kesempatan.
Fenomena berikutnya yang dihadapi perempuan globally di dunia kerja dan bisnis adalah “glass ceiling phenomenon”. Sebuah hambatan yang tak nampak namun nyata adanya, yang menghampiri perempuan (dan juga kaum minority yang terbedakan karena ras dll) yang sudah menapaki karier hingga level managerial up.
“The glass ceiling is the unseen, yet unbreachable barrier that keeps minorities and women from rising to the upper rungs of the corporate ladder, regardless of their qualifications or achievements”
Mungkin Anda berpikir, ah .. ini udah nggak ada kok jaman sekarang. Iya bisa jadi benar begitu. Tapi sesungguhnya hambatan itu tetap masih ada dan cukup terasa di beberapa sektor terutama yang male dominated.
Jika saya boleh ajak Anda menengok di organisasi masing-masing, ada berapa banyak perempuan yang menduduki posisi managerial di Perusahaan Anda?
Berapa persen perempuan yang ada di level top management?
Masihkah ada di mindset Anda sendiri tentang masculine vs feminine job?
Pernahkah Anda menemukan keluhan dari rekan Anda bahwa ia tak bisa melamar ke sebuah pekerjaan karena syarat utamanya adalah pria, sementara ia punya kompetensi yang dibutuhkan?
Atau pernahkah Anda mendengarkan kisah seorang perempuan yang sangat kompeten dan sedang dalam proses promosi kemudian ia gagal dipilih dan jabatan yang seharusnya untuk dia kemudian diberikan kepada kolega pria yang notabene tidak sekompeten dirinya?
Saya sendiri pernah merasakannya.
Di suatu masa saya pernah mendapatkan tawaran menjalani proses seleksi untuk mengisi Jabatan Regional HR Head di sebuah korporasi yang sedang membutuhkan posisi ini untuk memegang wilayah Indonesia Timur. Saya sudah melewati proses seleksi yang sangat panjang sampai dengan interview akhir di level BOD. Di titik terakhir saya gagal dan ketika saya meminta feedback dari HR yang memproses saya sejak awal Anda tahu apa katanya?
Beberapa BOD kuatir karena saya Ibu beranak tiga (waktu itu – sekarang anak saya sudah empat ), anak saya masih kecil-kecil dan pasti susah untuk traveling dan mungkin akan banyak kendala domestik.
See? Kompetensi saya terkalahkan oleh ketakutan akan hambatan domestik saya sebagai Ibu dan Istri. Yang kemudian dipilih? ya pastinya kandidat laki-laki.
Sebelum mengisi webinar women leader kemarin pagi saya membaca kembali beberapa buku-buku koleksi pribadi saya tentang “women leadership” dan membuka beberapa journal yang berkaitan dengan hal ini. Saya tercerahkan dan tersadarkan kembali. Bahwa dunia kerja memang telah berubah, hal ini sungguh benar. Kesempatan sudah begitu banyak terbuka bagi perempuan di semua sector, juga sangat benar. Benar bahwa seorang Carleton Fiorina (Hewlett Packard) menjadi pioneer yang mampu menembus fenomena glass ceiling dengan menjadi CEO Perempuan pertama di Fortune 500 company. Namun benar juga jika sampai saat ini fenomena glass ceiling ini pun tetap ada.
Deretan pertanyaan (atau kalau boleh saya sebut curhatan) yang saya temukan di webinar women leader kemarin membuktikan pula bahwa fenomena ini somehow tetap ada di sekeliling kita.
So, what to do next?
Kita berbicara yang sederhana saja, nggak muluk-muluk, di lingkup yang berada dalam kendali kita.
Berikan kesempatan yang sama bagi perempuan berkarya. Fokus pada kompetensinya, bukan pada hambatan gendernya.
Berikan support kepada Ibu bekerja, jangan lemahkan ia karena urusan domestiknya. Pahami kondisinya, dukung dengan kebijakan di kantor yang obyektif dan proporsional.
Memang ada fitrah perempuan sebagai Ibu dan Istri, pula ada keterbatasan fisik dan lainnya. Tapi itu bukan berarti ia tak mampu menjadi individu dengan prestasi dan potensi yang sepenuhnya tercurahkan di dalam perannya. Dukungan dan kesempatan adalah hal yang sungguh sangat ia butuhkan.
Fauziah Zulfitri, PCC
Founder & Director, Insight Indonesia
www.insightgroup.co.id